Turn On Budaya sebenarnya, Turn Off Jebakan Budaya
“Inilah kisah-kisah nyata, kenapa
budaya kita mulai hilang ? Dan dari mana proses kelumpuhan warisan budaya kita
?”
Mengapa kata
dasar “BUDAYA” menjadi urgen untuk dijadikan refleksi dilematika kehidupan ?
Pertama,
Budaya
Bisa Jadi Cermin Prilaku. Dan memang benar. Dari Kamus Bahasa Indonesia, saya terbantu
untuk berani menempatkan kata “Ba Mabo, so jadi BUDAYA orang Minahasa”. Menurut hemat saya,
prilaku diatas adalah budaya warisan. “Tidak
ada api pasti tidak ada asap” Warisan yang sampai saat ini terupdate menjadi lebih modern lagi. Konon
para tua-tua, miras menjadi kebiasaan mutlak. Minuman itu bagian dari alasan
untuk menjadi sumber kekuatan. “Kita
pepapa nda mo kuat ba karja kalo nda pancing captikus” Kata La Alo.
Begitulah bahasa yang sering di ucapkan ketika saya bertanya “kapa ngana pepapa salalu minum captikus
sebelum ka kobong ?”. Itulah budaya. suatu kebiasaan yang sudah sukar
diubah. Kini berdampak buruk pada generasi muda. Minuman sudah menjadi
kebiasaan. Malah jangan heran, sekarang captikus
sudah menjadi sumber “keberanian”. Jelas sudah, Zaman dulu captikus jadi sumber “kekuatan” dan sekarang menjadi sumber “keberanian”.
Dengan alasan,“(Tanpa captikus, kita nda
brani mo katakana cinta). Itulah sumber keberanian, captikus jadi senjata untuk
katakana cinta. (Tanpa captikus, kita nda mungkin batamang dengan dorang)
Itulah seumber persahabatan, captikus menjadi obat penawar kebersamaan (Tanpa
captikus, kita mo jadi gila) begitulah ucapan bagi para kaum yang putus cinta”.
Kuat dan mantap. Penuh alasan. Akankah “budaya” ini terus membudaya ? Dan
ketika kita terjebak dalam budaya seperti itu, jelas sudah, kita sedang berada
dalam zona budaya yang merugikan generasi selanjutnya.
Apakah
budaya seperti di atas sudah disadari oleh sebagian pemerintah, orang tua, dan
kaum muda ?
Menurut
hemat saya, jebakan budaya seperti
itu menjadi pergulatan para orang tua,
pihak kepolisian dan kaum muda. Artinya, budaya merugikan itu
sedang dan mulai di hilangkan. Contohnya, Orang tua sudah mulai sadar akan dampak
dari budaya yang merugikan itu. Terjadi perlawanan, pemberontakan, putus
sekolah dan yang lebih menyedihkan lagi,
sebagian orang tua kehilangan Anak semata wayang akibat kecelakaan. Pemicu
kecelakaan, sebagian besar akibat dari penggunaan alcohol yang berlebihan. Tersadarlah pihak Kepolisian, melihat budaya merugikan itu sudah berdampak pada
keamanan lalulintas. Sehingga jangan heran banyak nasehat-nasehat keamanan dipamerkan
pada persimpangan jalan “Brenti Jo Bagete”. Kepolisian sadar bahwa budaya merugikan itu
harus di hilangkan. Meskipun sulit, mereka selalu mecari upaya untuk menyadarkan
masyarakat. Upaya mereka nampak terlihat serius. Keseriusan itu juga tercermin
oleh kalangan komunitas. Sehingga Telkomsel dan Komunitas (kawanua Blogger) turut mengambil bagian dalam memberantas jebakan budaya “Minuman keras”. Apresiasi kaum intelektual menjadi kekuatan dalam
menyuburkan misi kepolisian. Sehingga terlahirlah ide LOMBA BLOG TELKOMSEL dengan tema “Brenti jo Bagate”. Yang di selenggarakan pada bulan Agustus 2012.
Terdaftar 20 blogger dan dari beberapa blogger, terlahirlah blogmisteri.blogspot.com
sebagai juara dalam memuat efek buruk dari jebakan budaya “Miras”. Dari
situlah saya mengambil kesimpulan, kita sedang sama-sama memberantas Jebakan
Budaya yang merugikan generasi penerus bangsa. “Gerakan Anti Mabuk 2012 adalah inspirasi dalam membongkar Jebakan
Budaya yang tidak pantas untuk membudaya”.
“Mari
jo jaga torang pe budaya”. Bahasa ajakan. Menarik dan inspiratif. Team Yayasan Institut Seni Budaya Sulut
bersama komunitas blogger dan komunitas Adat Seni Budaya Minahasa, bukan mengajak kita untuk memerangi program brenti
jo bagate “karena bagate juga adalah budaya
yang sudah membudaya” melainkan
menghatar kita untuk sadar akan kebudayaan
yang sedang termakan oleh perkembangan zaman.
Maraknya
dunia informatika jaringan online, memberi dampak buruk dalam mempengaruhi warisan budaya kita. Ada
pornografi, tidak santun, gaya hudup buruk, hilannya kebiasaan adat istiadat,
kurang prihatin dengan perkembangan kebudayaan dan lebih lengkap lagi kita
sedang terjebak pada jebakan budaya asing. Sehingga seiring adanya perkembangan globalisasi, kita seakan
salah dalam menempatkan pengetahuan demi kepuasan yang merugikan. Dari fakta itulah
lomba Blog Seni Budaya Sulut, berani memediasi situs jaringan online. Situs online
yang menampung beraneka ragam seni kebudayaan, dari sana kita diajak untuk
mengenal warisan budaya sesungguhnya. Karena, seiring berjalannya perkembangan
zaman, budaya warisan memang sedang terancam. Dan hadirnya situs-situs dunia
jaringan online melalui www.senibudayakita.com, mencoba MEMANFAATKAN
perkembangan ZAMAN sebagai JEMBATAN mengembalikan WARISAN BUDAYA Sulawesi
Utara. “Dan dari kesempatan inilah saya
terbantu untuk dapat “berteriak”. Sekuat mungkin mengatakan “Budaya itu Pro dan Kontra !”
-----------------------------PRO
dan KONTRA-----------------------------------
“Jika harus dipertahankan, kebuadayaan apa
sih yang harus kita jaga ?”
Kebudayaan yang
di maksud adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat (periksa: www.artikata.com). Artinya, kita akan di ajak
untuk sadar dalam mengembalikan identitas budaya yang sudah hapir punah.
Kasus Pertama (Kontra) “Agama Dan Situs Budaya”
Kepunahan
budaya berawal dari kepercaan. Konon masyarakat percaya, disetiap daerah
memiliki opo-opo leluhur. Sang
penguasa atas tanah yang ditempatinya. Sehingga mau tidak mau sebagian
masyarakat harus sering memberi penghormatan berupa persembahan dan korban. Seiring
berjalannya waktu kepercayaan itu kian mulai hilang.
Adanya perkembangan
zaman lahirlah Agama. Manusia mulai menganggap budaya adalah berhala. Pantaskah
budaya kepercayaan leluhur harus di pertahankan ? menurut hemat saya, masalah
di atas hanyalah sebagian kecil alasan mengapa budaya kepercayaan itu hilang.
Pertama, begitulah efek dari perkembangan zaman, manusia semakin pintar dalam
mengkritisi sesuatu tanpa menggunakan hati dan intelektual yang luas. Bahkan
jangan heran, sudah ada manusia yang tidak lagi percaya dengan adanya Tuhan.
Agamapun menjadi batu sandungan dalam kepintaran manusia akibat perubahan zaman
yang semakin goncang. Bagi saya, budaya leluhur adalah warisan nenek moyang.
Harus tetap di jaga. Karena kepercayaan mereka mungkin saja benar dan dapat
dipertanggungjawabkan. Tanpa mereka kita tidak akan lahir. Tanpa mereka kita
tidak akan di kenal sebagai masyarakat Sulawesi Utara. Agama adalah kepercayaan
untuk tidak kacau. Begitu juga dengan leluhur kita, mereka berharap untuk aman
dan tentram. Intinya, bukan mengajak
kita untuk menyembah para opo-opo leluhur
melainkan kita diajak untuk menjadi bagian dalam melestarikan warisan
budaya. Dengan maksud, Terus menjaga cerita sejarah, Merawat keberadaan tempat
budaya, hormati kepercayaan budaya dan jangan pernah melarang orang untuk
melihat tempat sejarah.
“Jujur saya pernah di bentak oleh La Mondru
untuk berkunjung ke Batu pinawetengan, kata mereka itu adalah tempat berhala”
Pro and Kontra.
Tegurannya
pas dan tepat. Karena dia telah berusaha untuk menyelamatkan iman saya. Sampai
– sampai dikira saya akan memulai penyembahan berhala. Itulah mengapa saya
mengangkat permasalahan di atas. “Terkadang kita terlalu sempit memaknai
budaya, membuat kita lupa akan identitas dari warisan budaya”.
“Agama
adalah iman, Budaya adalah Sejarah, dua-duanya penting dan harus di jaga !”
“Agama Dan Budaya Adalah Kesatuan
Dan Memiliki Peran Yang Sangat Penting
Dalam Menyuburkan Kebersamaan”
“Tanpa
Agama kita tidak memiliki iman, tanpa budaya kita tidak akan ada kebersamaan”
Jika
kita memahami hikmat akan budaya, disanalah akan terjadi kemakmuran
(perdamaian). Perdamaian memiliki unsur rasa hormat, tidak kacau, saling gotong
royong “mapalus”, saling silahturami, kurannya unsur politik yang merugikan,
santun, menghargai suku dan ras, dan yang paling penting adalah budaya dapat
mengembalikan dampak buruk terhadap Peperangan Iman “Golongan Agama”. Karena dimata budaya
Sulawesi Utara, Golongan Agama menjadi satu kebersamaan. Entah itu kaum Islam
39.25%, Kristen dan Katolik 60%, Buddha 0,28 % dan Hindu 0,47% semua bertempat
pada zona budaya Sulawesi Utara. Bayangkan penduduk Sulawesi Utara tercatat 2.128.780
jiwa, jika budaya itu hilang apa yang akan terjadi dengan generasi selanjutnya
? sehingga jangan heran, inilah dampak yang sedang terjadi. Dimana peperangan
golongan mulai tercium hangat. Generasi sekarang mulai meninggalkan
kedua-duanya “Budaya dan Agama”. Kini mulai terjebak pada budaya asing. Dan
dari budaya asing disanalah mulai mengadopsi prilaku yang jauh dari identitas
budaya Sulawesi Utara.
Kasus Kedua “Negera dan Situs Budaya”
Masih ingatkah kita akan berita “Polisi halangi jalan ke batu pinawetengan”.
Berita tersebut diangkat oleh saudara Lucky Kawengian. Dalam Tribun Manado Kamis, 18 Agustus 2011 14:50 WITA. Polisi menghalangi ziarah penghormatan budaya kepercayaan Minahasa. Zairah
penghormatan menjurus pada hari kemerdekaan. Sebagian para masyarakat pecinta
budaya kian tidak mendapat penghormatan oleh pemerintah. Sehingga polisi juga
terbawa dengan kebijakan Negara. Makanya upacara bendera gagal di laksanakan
pada tempat kepercayaan budaya yang sacral dan patut di lestarikan. (periksa: http://manado.tribunnews.com/2011/08/18/polisi-halangi-jalan-ke-batu-pinawetengan).
Dari kasus
diatas, nampak lah Pro dan Kontra antara
Negara dengan situs budaya yang semakin punah. Argument menjadi puncak
pelampiasan “Hari kemerdekaan adalah hari
kemenangan negara bagi masyarakat dan terlebih khusus para pahlawan. Pahlawan
budaya menjadi unsur kepercayaan daerah. Mereka juga patut di hormati”.
Begitulah ungkapan dari para pecinta budaya. “Kebudayaan mulai di sampingkan. Kebudayaan mulai di anggap remehkan”.
Menurut hemat saya, Masyarakat pecinta budaya memang kurang paham mengenai
aturan-aturan pemerintah. Walaupun mencintai warisan nenek moyang haruslah
mengikuti peraturan-peraturan ketata negaraan. Begitu juga dengan pihak
kepolisian, sangking kurangnya wawasan mengenai sejarah nenek moyang, budaya
sudah tidak lagi di perhatikan. Kesibukan dalam mengejar karir. Kesibukan dalam
mengejar kekayaan pribadi. Berujung pada hilanggnya karakter budaya yang
sesungguhnya.
Pandangan (Pro) Negara dan budaya
Jika Negara masih menjaga
situs-situs budaya, Indonesia menjadi utuh dalam kesatuan. Bersatunya 33
Provinsi yang memiliki keanekaragaman budaya, menjadikan Indonesia berbeda
dengan Negara lainnya. Sehingga betapa menyesalnnya Indonesia, ketika malasya mengambil seni budaya Indonesia. Terjadi peperangan argument. Terjadi ketidak puasan
identitas Negara. Bahkan tersadarlah Indonesia, seni budaya adalah warisan
nenek moyang yang harus di jaga, karena budaya itu unik, dan memiliki nilai
jual yang tinggi.
Dan jika budaya itu mulai
dijadikan aset warisan berharga, sudah saatnya Provinsi Sulawesi utara terus
menjaga situs-situs budaya yang sekarang sudah semakin punah. Seperti kasus
kasus diatas, kepunahan mulai tercermin dengan adanya ketidak rasa hormatan
pada tempat-tempat peninggalan warisan budaya kita.
Dan apa
boleh dikata, inilah perkembangan zaman. Bangkitnya kepadatan penduduk,
masyarakat mulai mengejar kehidupan yang semakin “mencekik” kebutuhan.
Berbondong – bondong masyarakat menyekolahkan anak agar menjadi pribadi yang
“kaya”. Sebagian sekolah untuk kekayaan ilmu pengetahuan. Sebagian sekolah
untuk mengejar kekayaan kedudukan. Makanya jangan heran ada yang pintar tapi
pintar berbohong, ada yang sudah dapat kedukan tapi masih saja ingin
menjatuhkan atasan. Itulah jebakan
budaya yang sekarang ini membudaya. Kehilangan adat istiadat, kelumpuhan
terhadap syair kedaerahan, terbawa gairah modern baru. Begitulah masyarakat
saman sekarang. Masyarakat terbentak oleh ruang dan waktu. “zaman dulu ya…
dulu, zaman sekarang ya.. sekarang” begitulah komentar dari berbagai kalangan.
Pendidikan tidak akan mengarah pada perkembangan budaya warisan. Pendidikan
selalu di paksa untuk menguasai beragam macam indikator. Matematika, IPA,
Bahasa Indonesia, IPS, Agama, Olahraga. Beraneka ragam mata pelajaran. Semuanya
menjadi keharusan untuk dikusasai. Disekolah memang di khususkan untuk belajar
mengenai seni budaya. Seni budaya warisan daerah. Dari adat, rumah adat,
pakaian adat sampai tarian menjadi bagian dalam penilaian. Tapi apa manfaatnya
? ketika terlalu menjiwai keaneka ragaman budaya, orang tua memberontak secara
histeris melihat keterbelakangan mata pelajaran yang lainnya. Sehingga
kebiasaan untuk tergabung dalam seni budaya daerah, dari musik bambu,
kolintang, bahkan maengket semuanya dijadikan masalah. Dijadikan biang
kebodohan dalam mengejar kompetensi mata pelajaran lainya. Pro dan Kontra.
Teras paragraf di atas hanyalah atap untuk memperkuat kisah seorang sahabat saya, namanya La candra. Dia adalah anak yang aktif dalam berbagai organisasi kebudayaan. Candra menjadi salah satu orang yang cinta akan warisan budaya. Nampak terlihat, dia akan senang jika akan ada festifal. Festifal budaya. Dari maengket, music bambu, sampai pada kabasaran Dia aktif melibatkan diri dalam kelompok tersebut. Waktupun tidak dihiraukan. Baginya seni budaya adalah rumahya. Bagi dia seni budaya adalah ladang pengobat batin. Begitulah candra, patut mendapatkan apresiasi yang mantap oleh kita. Karena tindakannya mencerminkan kecintaan akan budaya kita. Akan tetapi sebagian pihak telah menghalang keluasannya untuk mendalami nilai seni budaya di daerahnya. Orang tua menjadi tokoh utama. Candra selalu di kutuk. Candra memiliki lingkungan keluarga yang keras. Tergolong keluarga yang tidak ada kecintaan sama sekali mengenai budaya. Sehingga budaya kekerasanlah yang membudaya. Candra di marahi. Selalu dipaksa untuk tidak lagi aktif dalam organisasi budaya daerah. Padahal candra adalah anak yang aktif dan menjadi asset dalam kelompoknya. Akan tetapi melihat mata pelajaran yang semakin menurun, orang tua mulai kuatir dengan masa depannya. candra seakan di pacuh untuk menjadi orang yang “pintar”. Sehingga cita-cita candra seakan sudah di tentukan oleh orang tuannya. Yang pada kenyataannya, candra memiliki nilai yang cukup baik. Nilai diatas rata-rata. Hanya keegoisan orang tua untuk memamerkan kempintaran anaknya, mereka malah menjadikan candra sebagai robot buatan manusia. Seakan manusia itu wayang, tak bisa berperang kecuali diperankan sang dalang.
Teras paragraf di atas hanyalah atap untuk memperkuat kisah seorang sahabat saya, namanya La candra. Dia adalah anak yang aktif dalam berbagai organisasi kebudayaan. Candra menjadi salah satu orang yang cinta akan warisan budaya. Nampak terlihat, dia akan senang jika akan ada festifal. Festifal budaya. Dari maengket, music bambu, sampai pada kabasaran Dia aktif melibatkan diri dalam kelompok tersebut. Waktupun tidak dihiraukan. Baginya seni budaya adalah rumahya. Bagi dia seni budaya adalah ladang pengobat batin. Begitulah candra, patut mendapatkan apresiasi yang mantap oleh kita. Karena tindakannya mencerminkan kecintaan akan budaya kita. Akan tetapi sebagian pihak telah menghalang keluasannya untuk mendalami nilai seni budaya di daerahnya. Orang tua menjadi tokoh utama. Candra selalu di kutuk. Candra memiliki lingkungan keluarga yang keras. Tergolong keluarga yang tidak ada kecintaan sama sekali mengenai budaya. Sehingga budaya kekerasanlah yang membudaya. Candra di marahi. Selalu dipaksa untuk tidak lagi aktif dalam organisasi budaya daerah. Padahal candra adalah anak yang aktif dan menjadi asset dalam kelompoknya. Akan tetapi melihat mata pelajaran yang semakin menurun, orang tua mulai kuatir dengan masa depannya. candra seakan di pacuh untuk menjadi orang yang “pintar”. Sehingga cita-cita candra seakan sudah di tentukan oleh orang tuannya. Yang pada kenyataannya, candra memiliki nilai yang cukup baik. Nilai diatas rata-rata. Hanya keegoisan orang tua untuk memamerkan kempintaran anaknya, mereka malah menjadikan candra sebagai robot buatan manusia. Seakan manusia itu wayang, tak bisa berperang kecuali diperankan sang dalang.
Dan dari kisah di atas, seni
budaya sudah semakin hilang. Termakan oleh keinginan orang tua. Kebanyakan,
orang tualah yang menjadi faktor utama, sehingga generasi muda menjadi lupa
akan warisan seni Budaya.
Kurang
luasnya wawasan mengenai seni budaya kian berdampak pada pemahaman orang tua.
Pendidikan pada hakikatnya mengajak anak untuk mendapatkan jati diri yang
sesungguhnya. Potensi-potensi mereka unik, dan jika semakin peka dalam melihat
potensi itu disana kita dapat membantu anak dalam mendapatkan jati diri yang
sebenarnya. Jangan pernah menganggap
budaya adalah hal yang biasa-biasa saja, melainkan jadikan budaya sebagai
pegangan hidup dalam menjaga identitas daerah. Dan jika memiliki potensi untuk mengembangkan
budaya sebagai ilmu kreatifitas, buatlah hal-hal yang spetakuler dalam
memberikan dampak positif untuk dikenal banyak orang. Entah dari wilayah
sekitar, sampai pada go internasional. Karena budaya warisan adalah identitas
yang original. Dan original seperti itu, menjadi sasaran para pendatang luar
(warga asing) sebagai hiburan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pandangan (Pro) Pendidikan dan Budaya
“Inilah
Kisah seorang yang Mengerti akan Kekuatan Budaya, Sehingga Ia Sukses dan Berpendidikan
yang luas”
“Dengan
dasar Kebudayaan, Lahirlah Paham Baru, Terlahir dari rahim pikiran Dari Orang
yang cinta akan Budayanya”
Paham
Surgaisme
“Pendidikan adalalah surgaisme, dan
dari budayalah surgaisme itu ada”
Dampak positif pendidikan
terhadap budaya. Sudah jelas. Pendidikan akan berujung pada jatidiri seseorang.
Asalkan budaya dijadikan “Surgaisme” bukan “Kapitalisme”.
“Jika anda ingin berbicara tentang kehidupan
yang menarik, lihatlah kehidupanku. Aku tidak pernah memimpikan apa yang
sanggup aku capai” itulah ucapan
lelaki yang mencetuskan idiologi surgaisme.
Hukum
surgaisme. Pandangan baru. Dilahirkan oleh HUGUA,
dialah orang yang dijuluki Bukan Bupati
Biasa. Hugua adalah bupati wakatobi Sulawesi Tenggara. Lelaki kelahiran 31
desember 1961 ini dikenal sebagai LSM baik tingkat nasional dan internasional.
Dengan adanya idiologi yang visioner, Huga menjadi inspirasi banyak orang. Termasuk saya.
Melalu
buku biografi yang pertama “Lelaki itu Hugua”, saya seakan
terperangkap dalam zona kesedihan. Perjalanan hidup yang sangat membutuhkan
perjuangan. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana. Kukuatan pikiran sebagai
tombak keberhasilan. Dan yang menarik darinya, Hugua adalah seorang yang cinta
akan Budaya dan Alam Semesta.
Bersemesta dengan Alam sekitar, bersemesta dengan budaya kelahirannya. Semua kesuksesan berawal dari memberi. Karena
baginya hukum memberi itu nyata dan punya kekuatan besar dalam menunjang kemandirian.
Dan
dari kisah perjuangannya, Hugua melahirkan Pandangan Tata Dunia Baru, yaitu “Surgaiseme”. Melalui bukunya yang kedua. SURGAISME “solusi nyata Kebahagiaan Alam Semesta”. Dengan membawa kaidah surgawi, surga di atas dunia.
Paham
surgaisme ini mengajak kita agar menjaga budaya lokal (Local Wisdom). Karena budaya lokal dapat melahirkan kearifan
manusia untuk memakmurkan bumi. Budaya lokal sebagai hubungan penyesuaian
antara manusia dengan lingkungan. Sehingga ajakan surgaisme dalam menjaga budaya,
kita akan berujung pada hasil yakni material (Material Quotient).
Hasil
apa yang didapat ? lihatlah Wakatobi. Siapa yang tidak kenal dengan budaya
Sulawesi Tenggara ?
Wakatobi
menjadi contoh praktis untuk dijadikan acuan dalam menjaga nilai leluhur
warisan budaya. Dengan menjaga spiritual budaya daerah, wakatobi menjadi tempat
yang original untuk dijadikan sasaran para warga asing. Meskipun begitu banyak
budaya luar yang masuk, tapi budaya asli tidak terpengaruh oleh budaya luar.
Malah budaya luar menjadi tambahan untuk melestarikan budaya asali. Artinya budaya
asli wakatobi tidak hilang walau menerima dengan baik kedatangan budaya luar.
Maka disalah arti dari menghargai. Mungkin itulah yang dimaksud dari Bupati
Wakatobi “Menjaga warisan budaya Spiritual
Quotient (SQ) sama halnya akan mendatangkan Material Quotient(MQ)”. Begitulah paham surgaisme. “Landasan tata dunia baru”.
“Jika kita adalah Pemerintah, pintar-pintarlah
membangun daerah”
“Jika kita
adalah masyarakat biasa, jangan hilangkan budaya”
Dan
“Jika kita
adalah penerus bangsa, kritisilah “mereka” yang mulai menghilangkan nilai
budaya kita”
JIKA HUGUA
SUKSES KARENA CINTA AKAN BUDAYA, SUDAH JELAS, KITA JUGA BISA !
--------------------Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya !---------------
“ Kalo torang tanamkan prinsip (Si Tou Timou Tumou Tou) disana torang pasti mo baku Mapalus meskipun berbeda daerah Torang samua basudara.”
“ Kalo torang tanamkan prinsip (Si Tou Timou Tumou Tou) disana torang pasti mo baku Mapalus meskipun berbeda daerah Torang samua basudara.”
“Si Tou Timou Tumou Tou “
Orang yang menghidupkan orang lain. “Mapalus
“ Gotong royong. “Torang
samua basudara” Kita semua
bersaudara. Kalimat – kalimat berenergi tinggi. Mengajak kita untuk kembali
lagi menerapkan budaya kebersamaan. Kecintaan pada budaya akan berdampak baik
pada identitas daerah sesungguhnya. Jangan sampai hilang hanya karena budaya
luar. Meskipun banyak kemiripan jangan sampai budaya kita pudar. Karena kita
memiliki budaya yang berbeda dengan mereka. Kita unik dan punya karakter.
Meskipun kita berbeda, budaya tetap memesona.
--------------------------Tanamkan
Prinsip----------------------
Tenang masih
ada torang pe Maengket
Info Maengket
“Kalo torang seilang tu Maengket, mo kase tunjung apa dang pa dorang ? "
Kalo ada yang mo tantang main musik ? jangan tako !
Torang masih ada Musik bambu deng music kolintang.
Info Musik Bambu kolintang
Kalo ada yang mo minta baku prang ? jangan tako !
Torang masih ada densus kabasaran.
Info Kabasaran
“kalu ilang torang pe Kabasaran, mo pangge pa sapa letorang ?
kalo ada
yang mo minta tampa tinggal ?
Jangan panik,
torang masih ada Rumah warisan.
“Kalu torang
kase ilang ini rumah warisan, Mo tinggal dimana le torang pe orang pendatang ?”
KALO DORANG MOMINTA MAKANG ?
Ket:
Foto Kisah Perjuangan SM3T UNIMA, Disambut dengan adat Manggarai Timur,
Budaya menjadi telapak kebersamaan.
Mantap juga nih ulasannya, siiip. Ngeblog terus buat Minahasa :)
ReplyDeleteTerima kasih ya Pak Ronny Deddy Rondonuwu. Minahasa Bisa
ReplyDelete