Turn On Budaya sebenarnya, Turn Off Jebakan Budaya



BUDAYA. Arti kata yang luas maknanya. Jika kita membuka kamus bahasa Indonesia nampak sudah makna dan arti dari kata budaya. Disana anda akan mendapatkan begitu banyak arti kata yang bersinonim. Budaya diartikan  suatu kebiasaan yang sudah sukar diubah. Budaya juga bisa menghantar arti pembudayaan, dimana proses, cara, perbuatan membudayakan. Lazimnya, Pembudayaan adalah proses dari segala sosial budaya menjadi suatu adat atau pranata yang mantap. “Jika sudah mantap sudah tentu sulit untuk di ubah”.  Pasalnya, budaya itu prilaku, cara berpikir, dialek, gaya hidup, pandangan hidup, kesenian, wilayah, daerah, bahkan bangsa-bangsa. Wahana budaya itulah “Menampar” para kaum insan penerus bangsa siuman untuk refleksi lagi, “Kita sedang mempertahankan jebakan budaya dan mulai menghilangkan warisan budaya yang sesungguhnya”.

“Inilah kisah-kisah nyata, kenapa budaya kita mulai hilang ? Dan dari mana proses kelumpuhan warisan budaya kita ?”




Mengapa kata dasar “BUDAYA” menjadi urgen untuk dijadikan refleksi dilematika  kehidupan ?
 Pertama, Budaya Bisa Jadi Cermin Prilaku. Dan memang benar.  Dari Kamus Bahasa Indonesia, saya terbantu untuk berani menempatkan kata “Ba Mabo, so jadi BUDAYA orang Minahasa”. Menurut hemat saya, prilaku diatas adalah budaya warisan. “Tidak ada api pasti tidak ada asap” Warisan yang sampai saat ini terupdate menjadi lebih modern lagi. Konon para tua-tua,  miras menjadi kebiasaan mutlak. Minuman itu bagian dari alasan untuk menjadi sumber kekuatan. “Kita pepapa nda mo kuat ba karja kalo nda pancing captikus” Kata La Alo. Begitulah bahasa yang sering di ucapkan ketika saya bertanya “kapa ngana pepapa salalu minum captikus sebelum ka kobong ?”. Itulah budaya. suatu kebiasaan yang sudah sukar diubah. Kini berdampak buruk pada generasi muda. Minuman sudah menjadi kebiasaan. Malah jangan heran, sekarang captikus sudah menjadi sumber “keberanian”. Jelas sudah, Zaman dulu captikus jadi sumber “kekuatan” dan sekarang menjadi sumber “keberanian”. Dengan alasan,“(Tanpa captikus, kita nda brani mo katakana cinta). Itulah sumber keberanian, captikus jadi senjata untuk katakana cinta. (Tanpa captikus, kita nda mungkin batamang dengan dorang) Itulah seumber persahabatan, captikus menjadi obat penawar kebersamaan (Tanpa captikus, kita mo jadi gila) begitulah ucapan bagi para kaum yang putus cinta”. Kuat dan mantap. Penuh alasan. Akankah “budaya” ini terus membudaya ? Dan ketika kita terjebak dalam budaya seperti itu, jelas sudah, kita sedang berada dalam zona budaya yang merugikan generasi selanjutnya.

            Apakah budaya seperti di atas sudah disadari oleh sebagian pemerintah, orang tua, dan kaum muda ?
            Menurut hemat saya, jebakan budaya seperti itu menjadi pergulatan para orang tua, pihak kepolisian dan kaum muda. Artinya, budaya merugikan itu sedang dan mulai di hilangkan. Contohnya, Orang tua sudah mulai sadar akan dampak dari budaya yang merugikan itu. Terjadi perlawanan, pemberontakan, putus sekolah  dan yang lebih menyedihkan lagi, sebagian orang tua kehilangan Anak semata wayang akibat kecelakaan. Pemicu kecelakaan, sebagian besar akibat dari penggunaan alcohol yang berlebihan. Tersadarlah pihak Kepolisian, melihat budaya merugikan itu sudah berdampak pada keamanan lalulintas. Sehingga jangan heran banyak nasehat-nasehat keamanan dipamerkan pada persimpangan jalan “Brenti Jo Bagete”.  Kepolisian sadar bahwa budaya merugikan itu harus di hilangkan. Meskipun sulit, mereka selalu mecari upaya untuk menyadarkan masyarakat. Upaya mereka nampak terlihat serius. Keseriusan itu juga tercermin oleh kalangan komunitas. Sehingga Telkomsel dan Komunitas (kawanua Blogger) turut mengambil bagian dalam memberantas jebakan budaya “Minuman keras”. Apresiasi kaum intelektual menjadi kekuatan dalam menyuburkan misi kepolisian. Sehingga terlahirlah ide LOMBA BLOG TELKOMSEL dengan tema “Brenti jo Bagate”. Yang di selenggarakan pada bulan Agustus 2012. Terdaftar 20 blogger dan dari beberapa blogger, terlahirlah blogmisteri.blogspot.com sebagai juara dalam memuat efek buruk dari jebakan budaya “Miras”. Dari situlah saya mengambil kesimpulan, kita sedang sama-sama memberantas Jebakan Budaya yang merugikan generasi penerus bangsa. “Gerakan Anti Mabuk 2012 adalah inspirasi dalam membongkar Jebakan Budaya yang tidak pantas untuk membudaya”. 










Mari jo jaga torang pe budaya”. Bahasa ajakan. Menarik dan inspiratif. Team Yayasan Institut Seni Budaya Sulut bersama komunitas blogger dan komunitas Adat Seni Budaya Minahasa, bukan mengajak kita untuk memerangi program brenti jo bagatekarena bagate juga adalah budaya yang sudah membudaya” melainkan menghatar kita untuk sadar akan kebudayaan yang sedang termakan oleh perkembangan zaman.
Maraknya dunia informatika jaringan online, memberi dampak buruk dalam  mempengaruhi warisan budaya kita. Ada pornografi, tidak santun, gaya hudup buruk, hilannya kebiasaan adat istiadat, kurang prihatin dengan perkembangan kebudayaan dan lebih lengkap lagi kita sedang terjebak pada jebakan budaya asing. Sehingga seiring  adanya perkembangan globalisasi, kita seakan salah dalam menempatkan pengetahuan demi kepuasan yang merugikan. Dari fakta itulah lomba Blog Seni Budaya Sulut, berani memediasi situs jaringan online. Situs online yang menampung beraneka ragam seni kebudayaan, dari sana kita diajak untuk mengenal warisan budaya sesungguhnya. Karena, seiring berjalannya perkembangan zaman, budaya warisan memang sedang terancam. Dan hadirnya situs-situs dunia jaringan online melalui www.senibudayakita.com, mencoba MEMANFAATKAN perkembangan ZAMAN sebagai JEMBATAN mengembalikan WARISAN BUDAYA Sulawesi Utara. “Dan dari kesempatan inilah saya terbantu untuk dapat “berteriak”. Sekuat mungkin  mengatakan “Budaya itu Pro dan Kontra !”


-----------------------------PRO dan KONTRA-----------------------------------
Jika harus dipertahankan, kebuadayaan apa sih yang harus kita jaga ?”
Kebudayaan yang di maksud adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat (periksa: www.artikata.com). Artinya, kita akan di ajak untuk sadar dalam mengembalikan identitas budaya yang sudah hapir punah.

Kasus Pertama (Kontra)  “Agama Dan Situs Budaya”
Kepunahan budaya berawal dari kepercaan. Konon masyarakat percaya, disetiap daerah memiliki opo-opo leluhur. Sang penguasa atas tanah yang ditempatinya. Sehingga mau tidak mau sebagian masyarakat harus sering memberi penghormatan berupa persembahan dan korban. Seiring berjalannya waktu kepercayaan itu kian mulai hilang.
Adanya perkembangan zaman lahirlah Agama. Manusia mulai menganggap budaya adalah berhala. Pantaskah budaya kepercayaan leluhur harus di pertahankan ? menurut hemat saya, masalah di atas hanyalah sebagian kecil alasan mengapa budaya kepercayaan itu hilang. Pertama, begitulah efek dari perkembangan zaman, manusia semakin pintar dalam mengkritisi sesuatu tanpa menggunakan hati dan intelektual yang luas. Bahkan jangan heran, sudah ada manusia yang tidak lagi percaya dengan adanya Tuhan. Agamapun menjadi batu sandungan dalam kepintaran manusia akibat perubahan zaman yang semakin goncang. Bagi saya, budaya leluhur adalah warisan nenek moyang. Harus tetap di jaga. Karena kepercayaan mereka mungkin saja benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa mereka kita tidak akan lahir. Tanpa mereka kita tidak akan di kenal sebagai masyarakat Sulawesi Utara. Agama adalah kepercayaan untuk tidak kacau. Begitu juga dengan leluhur kita, mereka berharap untuk aman dan tentram.  Intinya, bukan mengajak kita untuk menyembah para opo-opo leluhur melainkan kita diajak untuk menjadi bagian dalam melestarikan warisan budaya. Dengan maksud, Terus menjaga cerita sejarah, Merawat keberadaan tempat budaya, hormati kepercayaan budaya dan jangan pernah melarang orang untuk melihat  tempat sejarah.
Jujur saya pernah di bentak oleh La Mondru untuk berkunjung ke Batu pinawetengan, kata mereka itu adalah tempat berhalaPro and Kontra.
Tegurannya pas dan tepat. Karena dia telah berusaha untuk menyelamatkan iman saya. Sampai – sampai dikira saya akan memulai penyembahan berhala. Itulah mengapa saya mengangkat permasalahan di atas. “Terkadang kita terlalu sempit memaknai budaya, membuat kita lupa akan identitas dari warisan budaya”.

Agama adalah iman, Budaya adalah Sejarah, dua-duanya penting dan harus di jaga !”
Pandangan (Pro) Agama dan Budaya
“Agama Dan Budaya Adalah Kesatuan Dan Memiliki Peran Yang Sangat Penting Dalam Menyuburkan Kebersamaan”
“Tanpa Agama kita tidak memiliki iman, tanpa budaya kita tidak akan ada kebersamaan”
            Jika kita memahami hikmat akan budaya, disanalah akan terjadi kemakmuran (perdamaian). Perdamaian memiliki unsur rasa hormat, tidak kacau, saling gotong royong “mapalus”, saling silahturami, kurannya unsur politik yang merugikan, santun, menghargai suku dan ras, dan yang paling penting adalah budaya dapat mengembalikan dampak buruk terhadap Peperangan Iman  “Golongan Agama”. Karena dimata budaya Sulawesi Utara, Golongan Agama menjadi satu kebersamaan. Entah itu kaum Islam 39.25%, Kristen dan Katolik 60%, Buddha 0,28 % dan Hindu 0,47% semua bertempat pada zona budaya Sulawesi Utara. Bayangkan penduduk Sulawesi Utara tercatat 2.128.780 jiwa, jika budaya itu hilang apa yang akan terjadi dengan generasi selanjutnya ? sehingga jangan heran, inilah dampak yang sedang terjadi. Dimana peperangan golongan mulai tercium hangat. Generasi sekarang mulai meninggalkan kedua-duanya “Budaya dan Agama”. Kini mulai terjebak pada budaya asing. Dan dari budaya asing disanalah mulai mengadopsi prilaku yang jauh dari identitas budaya Sulawesi Utara.



Kasus Kedua “Negera dan Situs Budaya”
“Dan jika kedua-duanya harus di jaga, kenapa Polisi halangi jalan ke batu pinawetengan”. 
Masih ingatkah kita akan berita “Polisi halangi jalan ke batu pinawetengan”. Berita tersebut diangkat oleh saudara Lucky Kawengian. Dalam Tribun Manado Kamis, 18 Agustus 2011 14:50 WITA. Polisi menghalangi ziarah penghormatan budaya kepercayaan Minahasa. Zairah penghormatan menjurus pada hari kemerdekaan. Sebagian para masyarakat pecinta budaya kian tidak mendapat penghormatan oleh pemerintah. Sehingga polisi juga terbawa dengan kebijakan Negara. Makanya upacara bendera gagal di laksanakan pada tempat kepercayaan budaya yang sacral dan patut di lestarikan. (periksa: http://manado.tribunnews.com/2011/08/18/polisi-halangi-jalan-ke-batu-pinawetengan).
Dari kasus diatas,  nampak lah Pro dan Kontra antara Negara dengan situs budaya yang semakin punah. Argument menjadi puncak pelampiasan “Hari kemerdekaan adalah hari kemenangan negara bagi masyarakat dan terlebih khusus para pahlawan. Pahlawan budaya menjadi unsur kepercayaan daerah. Mereka juga patut di hormati”. Begitulah ungkapan dari para pecinta budaya. “Kebudayaan mulai di sampingkan. Kebudayaan mulai di anggap remehkan”. Menurut hemat saya, Masyarakat pecinta budaya memang kurang paham mengenai aturan-aturan pemerintah. Walaupun mencintai warisan nenek moyang haruslah mengikuti peraturan-peraturan ketata negaraan. Begitu juga dengan pihak kepolisian, sangking kurangnya wawasan mengenai sejarah nenek moyang, budaya sudah tidak lagi di perhatikan. Kesibukan dalam mengejar karir. Kesibukan dalam mengejar kekayaan pribadi. Berujung pada hilanggnya karakter budaya yang sesungguhnya.
Pandangan (Pro) Negara dan budaya

Jika Negara masih menjaga situs-situs budaya, Indonesia menjadi utuh dalam kesatuan. Bersatunya 33 Provinsi yang memiliki keanekaragaman budaya, menjadikan Indonesia berbeda dengan Negara lainnya. Sehingga betapa menyesalnnya Indonesia, ketika malasya mengambil seni budaya Indonesia. Terjadi peperangan argument. Terjadi ketidak puasan identitas Negara. Bahkan tersadarlah Indonesia, seni budaya adalah warisan nenek moyang yang harus di jaga, karena budaya itu unik, dan memiliki nilai jual yang tinggi.
Dan jika budaya itu mulai dijadikan aset warisan berharga, sudah saatnya Provinsi Sulawesi utara terus menjaga situs-situs budaya yang sekarang sudah semakin punah. Seperti kasus kasus diatas, kepunahan mulai tercermin dengan adanya ketidak rasa hormatan pada tempat-tempat peninggalan warisan budaya kita.


Dan apa boleh dikata, inilah perkembangan zaman. Bangkitnya kepadatan penduduk, masyarakat mulai mengejar kehidupan yang semakin “mencekik” kebutuhan. Berbondong – bondong masyarakat menyekolahkan anak agar menjadi pribadi yang “kaya”. Sebagian sekolah untuk kekayaan ilmu pengetahuan. Sebagian sekolah untuk mengejar kekayaan kedudukan. Makanya jangan heran ada yang pintar tapi pintar berbohong, ada yang sudah dapat kedukan tapi masih saja ingin menjatuhkan atasan. Itulah jebakan  budaya yang sekarang ini membudaya. Kehilangan adat istiadat, kelumpuhan terhadap syair kedaerahan, terbawa gairah modern baru. Begitulah masyarakat saman sekarang. Masyarakat terbentak oleh ruang dan waktu. “zaman dulu ya… dulu, zaman sekarang ya.. sekarang” begitulah komentar dari berbagai kalangan. Pendidikan tidak akan mengarah pada perkembangan budaya warisan. Pendidikan selalu di paksa untuk menguasai beragam macam indikator. Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, IPS, Agama, Olahraga. Beraneka ragam mata pelajaran. Semuanya menjadi keharusan untuk dikusasai. Disekolah memang di khususkan untuk belajar mengenai seni budaya. Seni budaya warisan daerah. Dari adat, rumah adat, pakaian adat sampai tarian menjadi bagian dalam penilaian. Tapi apa manfaatnya ? ketika terlalu menjiwai keaneka ragaman budaya, orang tua memberontak secara histeris melihat keterbelakangan mata pelajaran yang lainnya. Sehingga kebiasaan untuk tergabung dalam seni budaya daerah, dari musik bambu, kolintang, bahkan maengket semuanya dijadikan masalah. Dijadikan biang kebodohan dalam mengejar kompetensi mata pelajaran lainya. Pro dan Kontra.  
Teras paragraf di atas hanyalah atap untuk memperkuat kisah seorang sahabat saya, namanya La candra. Dia adalah anak yang aktif dalam berbagai organisasi kebudayaan. Candra menjadi salah satu orang yang cinta akan warisan budaya. Nampak terlihat, dia akan senang jika akan ada festifal. Festifal budaya. Dari maengket, music bambu, sampai pada kabasaran Dia aktif melibatkan diri dalam kelompok tersebut. Waktupun tidak dihiraukan. Baginya seni budaya adalah rumahya. Bagi dia seni budaya adalah ladang pengobat batin. Begitulah candra, patut mendapatkan apresiasi yang mantap oleh kita. Karena tindakannya mencerminkan kecintaan akan budaya kita. Akan tetapi sebagian pihak telah menghalang keluasannya untuk mendalami  nilai seni budaya di daerahnya. Orang tua menjadi tokoh utama. Candra selalu di kutuk. Candra memiliki lingkungan keluarga yang keras. Tergolong keluarga yang tidak ada kecintaan sama sekali mengenai budaya. Sehingga budaya kekerasanlah yang membudaya. Candra di marahi. Selalu dipaksa untuk tidak lagi aktif dalam organisasi budaya daerah. Padahal candra adalah anak yang aktif dan menjadi asset dalam kelompoknya. Akan tetapi melihat mata pelajaran yang semakin menurun, orang tua mulai kuatir dengan masa depannya. candra seakan di pacuh untuk menjadi orang yang “pintar”. Sehingga cita-cita candra seakan sudah di tentukan oleh orang tuannya. Yang pada kenyataannya, candra memiliki nilai yang cukup baik. Nilai diatas rata-rata. Hanya keegoisan orang tua untuk memamerkan kempintaran anaknya, mereka malah menjadikan candra sebagai robot buatan manusia. Seakan manusia itu wayang, tak bisa berperang kecuali diperankan sang dalang.
Dan dari kisah di atas, seni budaya sudah semakin hilang. Termakan oleh keinginan orang tua. Kebanyakan, orang tualah yang menjadi faktor utama, sehingga generasi muda menjadi lupa akan warisan seni Budaya.
Kurang luasnya wawasan mengenai seni budaya kian berdampak pada pemahaman orang tua. Pendidikan pada hakikatnya mengajak anak untuk mendapatkan jati diri yang sesungguhnya. Potensi-potensi mereka unik, dan jika semakin peka dalam melihat potensi itu disana kita dapat membantu anak dalam mendapatkan jati diri yang sebenarnya. Jangan pernah menganggap budaya adalah hal yang biasa-biasa saja, melainkan jadikan budaya sebagai pegangan hidup dalam menjaga identitas daerah. Dan jika memiliki potensi untuk mengembangkan budaya sebagai ilmu kreatifitas, buatlah hal-hal yang spetakuler dalam memberikan dampak positif untuk dikenal banyak orang. Entah dari wilayah sekitar, sampai pada go internasional. Karena budaya warisan adalah identitas yang original. Dan original seperti itu, menjadi sasaran para pendatang luar (warga asing) sebagai hiburan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
--------------------DAMPAK POSITIF BUDAYA -------------------

Pandangan (Pro) Pendidikan dan Budaya
“Inilah Kisah seorang yang Mengerti akan Kekuatan Budaya, Sehingga Ia Sukses dan Berpendidikan yang luas”
“Dengan dasar Kebudayaan, Lahirlah Paham Baru, Terlahir dari rahim pikiran Dari Orang yang cinta akan Budayanya”

Paham Surgaisme
Pendidikan adalalah surgaisme,  dan dari budayalah surgaisme itu ada
            Dampak positif pendidikan terhadap budaya. Sudah jelas. Pendidikan akan berujung pada jatidiri seseorang. Asalkan budaya dijadikan “Surgaisme” bukan “Kapitalisme.  
Jika anda ingin berbicara tentang kehidupan yang menarik, lihatlah kehidupanku. Aku tidak pernah memimpikan apa yang sanggup aku capai  itulah ucapan lelaki yang mencetuskan idiologi surgaisme.
            Hukum surgaisme. Pandangan baru. Dilahirkan oleh HUGUA, dialah orang yang dijuluki Bukan Bupati Biasa. Hugua adalah bupati wakatobi Sulawesi Tenggara. Lelaki kelahiran 31 desember 1961 ini dikenal sebagai LSM baik tingkat nasional dan internasional. Dengan adanya idiologi yang visioner, Huga menjadi inspirasi banyak orang.  Termasuk saya.
            Melalu buku biografi yang pertama  Lelaki itu Hugua”, saya seakan terperangkap dalam zona kesedihan. Perjalanan hidup yang sangat membutuhkan perjuangan. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana. Kukuatan pikiran sebagai tombak keberhasilan. Dan yang menarik darinya, Hugua adalah seorang yang cinta akan Budaya dan Alam Semesta. Bersemesta dengan Alam sekitar, bersemesta dengan budaya kelahirannya. Semua kesuksesan berawal dari memberi. Karena baginya hukum memberi itu nyata dan punya kekuatan besar dalam menunjang kemandirian.
            Dan dari kisah perjuangannya, Hugua melahirkan Pandangan Tata Dunia Baru, yaitu “Surgaiseme”.  Melalui bukunya yang kedua. SURGAISME “solusi nyata Kebahagiaan Alam Semesta”.  Dengan membawa kaidah surgawi,  surga di atas dunia.
            Paham surgaisme ini mengajak kita agar menjaga budaya lokal (Local Wisdom). Karena budaya lokal dapat melahirkan kearifan manusia untuk memakmurkan bumi. Budaya lokal sebagai hubungan penyesuaian antara manusia dengan lingkungan. Sehingga ajakan surgaisme dalam menjaga budaya, kita akan berujung pada hasil yakni material (Material Quotient).
            Hasil apa yang didapat ? lihatlah Wakatobi. Siapa yang tidak kenal dengan budaya Sulawesi Tenggara ?         
Wakatobi menjadi contoh praktis untuk dijadikan acuan dalam menjaga nilai leluhur warisan budaya. Dengan menjaga spiritual budaya daerah, wakatobi menjadi tempat yang original untuk dijadikan sasaran para warga asing. Meskipun begitu banyak budaya luar yang masuk, tapi budaya asli tidak terpengaruh oleh budaya luar. Malah budaya luar menjadi tambahan untuk melestarikan budaya asali. Artinya budaya asli wakatobi tidak hilang walau menerima dengan baik kedatangan budaya luar. Maka disalah arti dari menghargai. Mungkin itulah yang dimaksud dari Bupati Wakatobi “Menjaga warisan budaya Spiritual Quotient (SQ) sama halnya akan mendatangkan Material Quotient(MQ)”. Begitulah paham surgaisme. “Landasan tata dunia baru”.
Jika kita adalah Pemerintah, pintar-pintarlah membangun daerah”
“Jika kita adalah masyarakat biasa, jangan hilangkan budaya”
Dan
“Jika kita adalah penerus bangsa, kritisilah “mereka” yang mulai menghilangkan nilai budaya kita”
JIKA HUGUA SUKSES KARENA CINTA AKAN BUDAYA, SUDAH JELAS, KITA JUGA BISA !


--------------------Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya !---------------
 “ Kalo torang tanamkan prinsip (Si Tou Timou Tumou Tou)  disana torang pasti mo baku Mapalus meskipun berbeda daerah Torang samua basudara.
            Si Tou Timou Tumou Tou “ Orang yang menghidupkan orang lain. “Mapalus “ Gotong royong. “Torang samua basudara”  Kita semua bersaudara. Kalimat – kalimat berenergi tinggi. Mengajak kita untuk kembali lagi menerapkan budaya kebersamaan. Kecintaan pada budaya akan berdampak baik pada identitas daerah sesungguhnya. Jangan sampai hilang hanya karena budaya luar. Meskipun banyak kemiripan jangan sampai budaya kita pudar. Karena kita memiliki budaya yang berbeda dengan mereka. Kita unik dan punya karakter. Meskipun kita berbeda, budaya tetap memesona.
--------------------------Tanamkan Prinsip----------------------




Tenang masih ada torang pe Maengket

Info Maengket
Maengket adalah hasil dari gagasan torang pe opo-opo dulu. Gagasan itu berkembang menjadi seni budaya Minahasa khusus di Sulawesi Utara. Sampe skarang torang ja lia lia, maengket bekeng orang sanang secara batin dan enak di pandang. Tari Maengket kata, biasanya ja pake di saat ada panen banya. Sehingga dalam keografi gerakan mengidentikan suatu cerita, dimana gerakan menberi kontras, masyarakat Sulawesi utara adalah orang-orang pekerja keras, bergotong royong,punya rumah yang nyaman dan sadar akan maha Kuasa (percaya adanya Tuhan. Makanya, torang pe maengket, ada tiga kategori gerakan yaitu Maowey Kamberu, Marambak, Lalayaa "Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak. Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur. Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasan"


“Kalo torang seilang tu Maengket, mo kase tunjung apa dang pa dorang ? "

Kalo ada yang mo tantang main musik ? jangan tako !
Torang masih ada Musik bambu deng music kolintang.





Info Musik Bambu kolintang
Torang pe musik bambu kata, sekitar tahun 1789 so mulai ja dapa dengar. konon di borgo, Tanawangko, Belang, Kema, Likupang dan Amurang, musik bambu jadi dorang pe sumber kesenian musik. Sehingga tahun 1840-an musik bambu di bentuk menjadi khas warisan budaya yang berbentuk Orkes Musik Suling. Kemudian terpengaruh dengan dengan musik corps militer Belanda. Kong berkembang Pada tahun 1870 meniup suling bambu menjadi tuntutan kompetensi dasar pelajaran sol-mi-sa-si untuk belajar lagu-lagu Gereja. Sehingga setelah tahun 1900 sudah ada alat musik musik bambu yang berfungsi sebagai Bass dan Tuba (Piston) yang dikenal dengan nama Musik Bambu Melulu. Pada tahun 1950-an selain suling kecil, suling sedang, korno, tuba, oferton (trombon), bass, tambur, Snar (gendrang ), simbal, kapuraca kemudian ditambah lagi Klarinet dan Saxophon dari bambu buatan sendiri. Pada akhirnya Musik Bambu berkembang menjadi salah satu tradisional bergengsi yaitu dengan mengiringi lagu untuk menghormati Tamu Agung, Perkawinan, Upacara Adat dan Upacara lainnya. Pada Tahun 1970-an bahan baku dari perlatan musik bambu seperti Klarinet, Saxophon, Tuba, Oferton, bass di ganti dari seng aluminium dengan bahan kuningan dan dikenal pada saat ini dengan nama Musik Bambu Seng Klarinet (MBSK), lalu kemudian pada tahun 1990 memakai bahan steinlees ( Vernekel ). Jumlah pemain dalam satu Group ( Tumpukan ) adalah sekitar 30-60 orang pemain yang dipimpin oleh Pemimpin Musik Bambu disebut Tukang Palu (Konduktor), yaitu yang terdiri dari : Tukang Palu ( Konduktor) Pemain depan Terdiri dari : Suling Kecil, Suling Sedang, Klarinet dan Saxophon Pemain tengah yaitu Pemain Korno terdiri dari Korno C (do), Korno D (re), Korno E (mi), Korno G (sol), Korno A (la) Korno B (si) Korno C" ( do tinggi ). ● Pemain Belakang terdiri dari : Tuba, Oferton, kapuraca, Bass, Tambur, snar, dan simbal. Musik Bambu hanya dapat memainkan lagu dalam 1 (satu) tangga nada, misalnya kunci "C" ( C=1=do) atau kunci "D" (D=1=do). tapi karena musik bambu Minahasa bertangga nada Diatonis maka musik inipun bisa memainkan segala jenis lagu seperti Lagu Tradisional Daerah, Lagu Gerejani, Lagu perjuangan, lll. Musik Bambu juga dapat memainkan jenis lagu misalnya: Mars, Waltz, Tango, Rumba, Cha Cha dan lainnya. Melalui perkembangan musik bambu ternyata tidak kala menariknya dengan kolintang. Musik ini kata, di ciptakan oleh seorang pria, depe nama makasiga. Makasiga berasal dari kelabat. Dia jago ba ukir ukir kayu. Dengan depe skil itu no kong sampe dia dapa maitua yang cantik. Perempuan itu depe nama lintang. Karena makasiga sayang skali pa dia, cepat skali dia da bekeng tu putri pe persyaratan untuk bekeng alat musik yang merdu dan enak di dengar. tercetuslah misik kolintang. terinspirasi dari nama Lintang, sampe jadi Kolintang. dan jangan heran, musik kolintang itu enak ja dengar, karena daberlandaskan cinta sampe jadi kolintang tetap harus di jaga. biar depe bahan cuman dari kayu, mar depe ba bunyi, bekeng orang jadi merinding. "seperti mulai mendapatkan situasi romantis dan harmonis"
“Kalo Torang pe music bambu dengn kolintang so ilang, Mo bersaing apa le torang ?’



Kalo ada yang mo minta baku prang ? jangan tako !


Torang masih ada densus kabasaran.


Info Kabasaran
Tarian kabasaran kata, terkesan sebagai prajurit tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung. itulah filosofi dari torang pe kabasaran. makanya jangan heran torang pe kabasaran punung dengan umbul-umbul ayam jantan. Untuk lebih Luas lagi sekedar memperhemat lembaran (periksa:http://id.wikipedia.org/wiki/Kabasaran) di situ tamang-tamang mo dapa depe sejarah.

“kalu ilang torang pe Kabasaran, mo pangge pa sapa letorang ?

kalo ada yang mo minta tampa tinggal ?



Jangan panik, torang masih ada Rumah warisan.
“Kalu torang kase ilang ini rumah warisan, Mo tinggal dimana le torang pe orang pendatang ?”

KALO DORANG MOMINTA MAKANG ?


















Ket: Foto Kisah Perjuangan SM3T UNIMA, Disambut dengan adat Manggarai Timur,

 Budaya menjadi telapak kebersamaan.

             
             














Comments

  1. Mantap juga nih ulasannya, siiip. Ngeblog terus buat Minahasa :)

    ReplyDelete
  2. Terima kasih ya Pak Ronny Deddy Rondonuwu. Minahasa Bisa

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts